Rabu, 16 Mei 2018

Marhaban Ya Romadlon


Abu Huroiroh ra. mengungkapkan, Muhammad Rosululloh Saw bersabda,
“Siapa yang tidak berpuasa sehari pada bulan Romadlon,
tanpa halangan yang diizinkan Alloh atau sakit, maka tidak dapat dibayar sepanjang masa meskipun dilaksanakannya.”
(HR. Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah)


Entah sejak umur berapa saya mulai berpuasa Romadlon, yang saya ingat dulu pada awal belajar puasa saya melewati tahapan-tahapan yang lazim dipraktekkan orang-orang tua kepada anaknya di masa itu. Yaitu orang tua melatih anak-anak berpuasa secara berjenjang dengan memanfaatkan tanda waktu sholat.

Pada masa itu tanda waktu sholat adalah bunyi bedug di masjid (bukan suara adzan dari pengeras suara yang bersahut-sahutan seperti sekarang). Maka ada istilah puasa bedugan, maksudnya ketika ada bunyi bedug, saat itulah boleh berbuka. Karena masih dalam masa latihan, maka tidak seperti orang-orang tua yang berbuka puasanya pada waktu ada bedug maghrib, anak-anak boleh berbuka pada waktu bedug dluhur. Ibu saya dulu mengajarkan agar setelah merasa kuat puasa bedug Dluhur, dilanjutkan ke puasa sampai bedug Asar –alhamdulillah saya hanya beberapa hari puasa bedug Dluhur, selanjutnya langsung puasa sehari penuh.


Bertahun-tahun mengalami bulan Romadlon dan berpuasa, seingat saya tak pernah sekalipun mengalami batal atau bolong-bolong (istilah gaulnya). Kembali ke masa awal menjalani puasa, pada saat itu karena teman sepantaran masih banyak yang belum puasa pernah beberapa kali karena bermain bersama ada teman yang memberi saya kerupuk dan tentu saja saya makan. Pada saat itu timbul masalah, apakah terus puasa atau batal, tapi ibu saya yang sangat menakutkan ketika marah itu selalu menggunakan pengetahuan agamanya untuk membantu mengatasi masalah-masalah saya. Alhamdulillah walaupun pernah mengalami Romadlon jadi kuli bangunan di tengah orang-orang yang tidak berpuasa dan sering saya tidak makan sahur, tak sekalipun pernah merasa kepayahan menjalani puasa.

Apalagi bagi orang Indonesia, rasanya puasa Romadlon tak ada berat-beratnya. Simak saja cerita orang-orang yang tinggal di Eropa yang berpuasa hampir 20 jam. Atau mereka yang berpuasa di Arab pada masa Rosululloh SAW, waktu itu di sana masih gersang dan hidup yang dijalani begitu keras penuh peperangan. Malu sendiri kalau sampai tak kuat puasa di negeri yang sejuk dengan waktu puasa yang pendek (separuh waktunya untuk tidur).

Ada juga cerita, yaitu teman-teman yang mengatakan puasa saya batal karena mereka mengetahui saya mimpi basah di siang hari. Tak pernah saya merasa batal karena makan tidak sengaja saja tidak membatalkan puasa apalagi junub dalam tidur. Saya—alhamdulillah-- merasa selama ini tidak gampang terpengaruh oleh pergaulan, hal itu sepertinya karena orang tua saya dulu sering membimbing dengan cerita-cerita yang ternyata sumbernya dapat saya temui ketika dewasa, yaitu hadits nabi.

Mulai besok bulan puasa siap diarungi lagi. Dan puasa kali ini untuk yang ke sekian kali saya jalani di kampung dalam suasana yang bisa dibilang kurang greget. Saya rindu berpuasa seperti masa-masa di rantau, saat tidur sendiri dan bangun sudah lewat subuh, atau ketika jadi pedagang asongan seharian di jalanan lalu buka puasa dengan roti dan Teh Botol Sosro.

Marhaban Ya Romadlon. Hadirmu selalu penuh kenangan.

7 komentar:

  1. ra kroso wis ramadan maneh mas
    selamat menjalankan ibadah puasa ya

    BalasHapus
  2. Selamat menjakankan ibadah puasa,teman.

    BalasHapus
  3. Saya penasaran sama ibu yang 'sangat menakutkan ketika marah' itu mas :D

    BalasHapus
  4. Ngomong-ngomong, kok samaan yang dirasakan ya,mas .. rindu saat merantau.

    Aku juga ngerasain hal seperti itu,mas.
    Rindu suasana merantau, apa2 melakukan sendiri dan mau bebas (tentunya hal yang positif) begini begitu ngga ada yang ngomentarin.

    BalasHapus