Abu Huroiroh ra. mengungkapkan,
Muhammad Rosululloh Saw bersabda,
“Siapa yang tidak berpuasa sehari
pada bulan Romadlon,
tanpa halangan yang diizinkan Alloh
atau sakit, maka tidak dapat dibayar sepanjang masa meskipun dilaksanakannya.”
(HR. Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi,
Ibnu Majah, Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah)
Entah
sejak umur berapa saya mulai berpuasa Romadlon, yang saya ingat dulu pada awal
belajar puasa saya melewati tahapan-tahapan yang lazim dipraktekkan orang-orang
tua kepada anaknya di masa itu. Yaitu orang tua melatih anak-anak berpuasa
secara berjenjang dengan memanfaatkan tanda waktu sholat.
Pada
masa itu tanda waktu sholat adalah bunyi bedug di masjid (bukan suara adzan
dari pengeras suara yang bersahut-sahutan seperti sekarang). Maka ada istilah
puasa bedugan, maksudnya ketika ada bunyi bedug, saat itulah boleh berbuka. Karena
masih dalam masa latihan, maka tidak seperti orang-orang tua yang berbuka puasanya
pada waktu ada bedug maghrib, anak-anak boleh berbuka pada waktu bedug dluhur. Ibu
saya dulu mengajarkan agar setelah merasa kuat puasa bedug Dluhur, dilanjutkan ke puasa
sampai bedug Asar –alhamdulillah saya hanya beberapa hari puasa bedug Dluhur,
selanjutnya langsung puasa sehari penuh.
Bertahun-tahun
mengalami bulan Romadlon dan berpuasa, seingat saya tak pernah sekalipun
mengalami batal atau bolong-bolong (istilah gaulnya). Kembali ke masa awal
menjalani puasa, pada saat itu karena teman sepantaran masih banyak yang belum
puasa pernah beberapa kali karena bermain bersama ada teman yang memberi saya
kerupuk dan tentu saja saya makan. Pada saat itu timbul masalah, apakah
terus puasa atau batal, tapi ibu saya yang sangat menakutkan ketika marah itu
selalu menggunakan pengetahuan agamanya untuk membantu mengatasi
masalah-masalah saya. Alhamdulillah walaupun pernah mengalami Romadlon jadi
kuli bangunan di tengah orang-orang yang tidak berpuasa dan sering saya tidak makan
sahur, tak sekalipun pernah merasa kepayahan menjalani puasa.
Apalagi
bagi orang Indonesia, rasanya puasa Romadlon tak ada berat-beratnya. Simak saja
cerita orang-orang yang tinggal di Eropa yang berpuasa hampir 20 jam. Atau mereka
yang berpuasa di Arab pada masa Rosululloh SAW, waktu itu di sana masih gersang
dan hidup yang dijalani begitu keras penuh peperangan. Malu sendiri kalau
sampai tak kuat puasa di negeri yang sejuk dengan waktu puasa yang pendek
(separuh waktunya untuk tidur).
Ada
juga cerita, yaitu teman-teman yang mengatakan puasa saya batal karena mereka mengetahui
saya mimpi basah di siang hari. Tak pernah saya merasa batal karena makan tidak
sengaja saja tidak membatalkan puasa apalagi junub dalam tidur. Saya—alhamdulillah--
merasa selama ini tidak gampang terpengaruh oleh pergaulan, hal itu sepertinya
karena orang tua saya dulu sering membimbing dengan cerita-cerita yang ternyata
sumbernya dapat saya temui ketika dewasa, yaitu hadits nabi.
Mulai
besok bulan puasa siap diarungi lagi. Dan puasa kali ini untuk yang ke sekian
kali saya jalani di kampung dalam suasana yang bisa dibilang kurang greget. Saya
rindu berpuasa seperti masa-masa di rantau, saat tidur sendiri dan bangun sudah
lewat subuh, atau ketika jadi pedagang asongan seharian di jalanan lalu buka
puasa dengan roti dan Teh Botol Sosro.
Marhaban
Ya Romadlon. Hadirmu selalu penuh kenangan.
ra kroso wis ramadan maneh mas
BalasHapusselamat menjalankan ibadah puasa ya
iyo cak, cepete pol
HapusSelamat menjakankan ibadah puasa,teman.
BalasHapussama sama teman
HapusSaya penasaran sama ibu yang 'sangat menakutkan ketika marah' itu mas :D
BalasHapusbeliau sudah tidak ada
HapusNgomong-ngomong, kok samaan yang dirasakan ya,mas .. rindu saat merantau.
BalasHapusAku juga ngerasain hal seperti itu,mas.
Rindu suasana merantau, apa2 melakukan sendiri dan mau bebas (tentunya hal yang positif) begini begitu ngga ada yang ngomentarin.