Merupakan sesuatu yang lazim burung perkutut dipiara atau dipelihara oleh orang-orang tua
kita di masa yang lalu. Adapun sekarang sudah jarang kita jumpai tiang-tiang dari bambu
menjulang di halaman rumah, yang dulu merupakan sesuatu yang umum sebagai
kebiasaan orang jaman dulu menyediakan tempat bagi burung piaraannya itu
manggung. Seingat saya istilahnya “manggung” untuk burung perkutut, karena di
sangkarnya burung-burung itu tak sekedar makan dan berdiam atau dilihat
keindahan bulunya, tapi ditunggu pula aksi panggungnya yakni menunjukkan
keindahan suaranya.
Jangankan burung, kini orang kampung memelihara ayam yang bagi orang yang
hidup di desa merupakan suatu kemestian saja sudah banyak yang tak lagi
melakukannya. Namun tentu saja masih ada yang setia dengan kebiasaan lama, atau generasi baru penggemar burung,
walau mungkin dengan niatan yang berbeda. Seperti di rumah, kini ada seekor
burung perkutut dalam sangkar yang setiap hari dipajang di teras rumah. Tentu
saja sekedar dijadikan pajangan, karena kalau disebut manggung tak pernah
terdengar suaranya baik sore ataupun pagi.
Bagi orang Jawa memelihara perkutut memang punya nilai tersendiri. Banyak
klenik yang melatarbelakangi kebiasaan yang entah sejak jaman kapan
berlangsung. Makanya burung satu ini punya pasar tersendiri, karena harganya
bisa mencapai jutaan bahkan ratusan juta yang pasti hanya orang-orang tertentu
kini yang bisa bermain di pasar semaacam itu. Mereka yang awam tentu sekedar
menonton atau ikut membicarakan di warung kopi. Karena untuk masuk ke dunia
“keperkututan” tak hanya butuh uang, namun dibutuhkan juga pengetahuan tentang
katuranggan.
Untuk Bapak Imron, entahlah apakah ada dasar pengetahuan tentang
katuranggan ini? Saya menduga Beliau memelihara perkutut hanya untuk iseng
saja. Karena disamping tak pernah berbunyi, pengurusannya juga seperti tak
serius. Beda dengan orang-orang yang betul-betul memelihara, biasanya setiap
hari selalu tampak dekat dengan burung piaraannya. Memandikan, membersihkan
kandang, lalu mengajak bermain-main dengan bersiul-siul merupakan kebiasaan
yang pasti dilakukan.
Semoga saja tak ada kepercayaan yang bisa membuat syirik dalam memelihara
perkutut itu. Karena sudah bukan rahasia, dari sekian banyak jenis burung
perkutut, padanya melekat bermacam-macam takhayul, dari yang masih bisa dinalar
sampai yang “tak masuk akal” bisa kita dengar. Saya berharap semoga ada misi
mulia malahan, seperti memberi pengetahuan pada anak-cucu bahwa ada yang
namanya burung perkutut di dunia ini, mengingat kini melihat burung terbang di
alam bebas sudah sulit. Jangankan burung perkutut, burung kecil-kecil saja di
pekarangan sudah sulit ditemui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar