Minggu, 30 Maret 2014

Miara Perkutut



Merupakan sesuatu yang lazim burung perkutut dipiara atau dipelihara oleh orang-orang tua kita di masa yang lalu. Adapun sekarang sudah jarang kita jumpai tiang-tiang dari bambu menjulang di halaman rumah, yang dulu merupakan sesuatu yang umum sebagai kebiasaan orang jaman dulu menyediakan tempat bagi burung piaraannya itu manggung. Seingat saya istilahnya “manggung” untuk burung perkutut, karena di sangkarnya burung-burung itu tak sekedar makan dan berdiam atau dilihat keindahan bulunya, tapi ditunggu pula aksi panggungnya yakni menunjukkan keindahan suaranya.


Jangankan burung, kini orang kampung memelihara ayam yang bagi orang yang hidup di desa merupakan suatu kemestian saja sudah banyak yang tak lagi melakukannya. Namun tentu saja masih ada yang setia dengan kebiasaan lama, atau generasi baru penggemar burung, walau mungkin dengan niatan yang berbeda. Seperti di rumah, kini ada seekor burung perkutut dalam sangkar yang setiap hari dipajang di teras rumah. Tentu saja sekedar dijadikan pajangan, karena kalau disebut manggung tak pernah terdengar suaranya baik sore ataupun pagi.

Bagi orang Jawa memelihara perkutut memang punya nilai tersendiri. Banyak klenik yang melatarbelakangi kebiasaan yang entah sejak jaman kapan berlangsung. Makanya burung satu ini punya pasar tersendiri, karena harganya bisa mencapai jutaan bahkan ratusan juta yang pasti hanya orang-orang tertentu kini yang bisa bermain di pasar semaacam itu. Mereka yang awam tentu sekedar menonton atau ikut membicarakan di warung kopi. Karena untuk masuk ke dunia “keperkututan” tak hanya butuh uang, namun dibutuhkan juga pengetahuan tentang katuranggan.

Untuk Bapak Imron, entahlah apakah ada dasar pengetahuan tentang katuranggan ini? Saya menduga Beliau memelihara perkutut hanya untuk iseng saja. Karena disamping tak pernah berbunyi, pengurusannya juga seperti tak serius. Beda dengan orang-orang yang betul-betul memelihara, biasanya setiap hari selalu tampak dekat dengan burung piaraannya. Memandikan, membersihkan kandang, lalu mengajak bermain-main dengan bersiul-siul merupakan kebiasaan yang pasti dilakukan.

Semoga saja tak ada kepercayaan yang bisa membuat syirik dalam memelihara perkutut itu. Karena sudah bukan rahasia, dari sekian banyak jenis burung perkutut, padanya melekat bermacam-macam takhayul, dari yang masih bisa dinalar sampai yang “tak masuk akal” bisa kita dengar. Saya berharap semoga ada misi mulia malahan, seperti memberi pengetahuan pada anak-cucu bahwa ada yang namanya burung perkutut di dunia ini, mengingat kini melihat burung terbang di alam bebas sudah sulit. Jangankan burung perkutut, burung kecil-kecil saja di pekarangan sudah sulit ditemui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar