Selasa, 12 Juni 2018

LAILATUL QADAR DAN IHTISAB


Romadlon tinggal beberapa tarikan nafas lagi, sudahkah anda dapat Lailatul Qadar? Lailatul qadar yang konon turun pada malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir Romadlon tentunya tinggal menyisakan satu kesempatan. Ya, besok malam ke duapuluh sembilan semoga tidak kita sia-siakan. maka sebagai bekal pada kesempatan terakhir tahun ini, berikut saya kutipkan dari Ensiklopedi Nurcholish Madjid sesuatu yang saya pikir layak dibaca dan direnungi. Semoga Romadlon kali ini tidak sia-sia.


Berkaitan dengan usaha-usaha mendapatkan malam lailatul qadar (Arab: laylat al-qadr), setidaknya seseorang harus terlebih dahulu memiliki persiapan ruhani. Kesiapan ruhani tersebut dimaksudkan untuk menyambut kedatangan lailatul qadar, sehingga dengan sendirinya orang yang tidak memiliki kesiapan ruhani tidak akan mendapatkan lailatul qadar.

Adapun pelatihan dan persiapan yang dilakukan untuk mendapatkan lailatul qadar, di antaranya adalah dengan menjalankan ibadah puasa secara benar. Kemudian, menjelang datangnya lailatul qadar, sebagaimana dianjurkan oleh Rasulullah Saw., hendaknya memperbanyak qiyâm al-layl dan berzikir, perenungan, serta ihtisâb, seperti yang disabdakan dalam sebuah hadis yang berbunyi, “Barang siapa berpuasa karena keimanan kepada Allah, dan melakukan penghitungan kepada diri sendiri, maka diampuni dosa-dosanya yang lalu.” 

Ihtisâb (self-examination) adalah sikap mau mengoreksi diri sendiri dengan menghitung-hitung amal perbuatan. Siapa yang tidak mau melakukan perenungan dan self-examination maka akan sulit mendapatkan lailatul qadar. Karena hati orang yang tidak mau melakukan koreksi diri adalah indikasi hati yang tertutup oleh kesombongan diri. Kesombongan diri karena merasa dirinya paling benar dan suci.

Di sinilah kiranya sikap jiwa menantikan datangnya lailatul qadar dapat diparalelkan dengan sikap tobat dari melakukan dosa dan kesalahan. Dan di dalamnya harus ada sikap rendah hati dan ketulusan. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan bersamaan dengan melakukan iktikaf pada malam hari. Melalui iktikaf, seseorang dapat merenungkan keadaan dan keberadaan dirinya sehingga iktikaf menjadi momentum yang sangat tepat untuk melakukan pencarian makna hidup yang paling esensial, seperti dalam bahasa Jawa dikenal istilahsangkan paran dumadi, atau untuk apa hidup, dari mana datangnya hidup, serta akan ke mana hidup ini? Seluruh pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang eksistensial dan identik dengan ihtisâb, melakukan self-examination selama menjalankan iktikaf.

Memperbanyak kegiatan ibadah untuk menantikan datangnya lailatul qadar sebagai persiapan ruhani dilakukan tanpa harus meminta bantuan orang lain. Hal yang demikian juga membuktikan betapa dalam Islam tidak dikenal ajaran mitos atau kultus individu dalam beribadah. Artinya, setiap orang Islam dapat melakukan amalan ibadah tanpa harus melalui perantara. Anjuran untuk memperbanyak ibadah, memohon ampunan kepada Allah Swt. Sepanjang bulan puasa khususnya, juga tidak harus menggunakan bahasa Arab.  Menggunakan bahasa sendiri juga tidak apa-apa karena sesungguhnya Allah Swt. Maha Mengetahui dan Mendengar.



2 komentar: