Hadir lagi bulan
Romadlon, bulan puasa yang bagi kaum muslimin merupakan bulan yang
ditunggu-tunggu. Dalam banyak ceramah menyambut bulan puasa, banyak disebut
keistimewaan bulan ini, yang kemudian menuntut adanya suka-cita menyambut
kedatangannya. Ada banyak tradisi menyambut bulan yang disucikan ini, dari
tabuh bedug masjid di pagi hari (kini ketika penetapan awal puasa semakin
rumit, tradisi ini sepertinya sudah tak ada lagi), saling kunjung-mengunjungi
di antara famili dan handai taulan, bersih-bersih rumah dan kuburan, mandi
keramas, hingga saling berbagi makanan.
Di sekitar
tempat tinggal saya di Brebes, tradisi berbagi makanan menyambut Romadlon
disebut dengan “Unggah-unggahan”. Ada banyak tafsir tentang tradisi ini, saya
tak tertarik membahasnya, saya memaknai ini dengan gampang saja, bahwa tradisi
ini adalah cara orang-orang kami mengakui adanya banyak kesalahan dan
kekhilafan dalam pergaulan sehari-hari, dan berbagi makanan adalah ekspresi
permohonan maaf dan maklum atas dosa yang telah lalu.
Berbagi makanan
dalam “unggah-unggahan” adalah berbagi
makanan pokok yang siap santap. Dan di tempat kami tentu saja makanannya nasi
dan lauknya. Sejauh yang saya alami, makanan yang dibagi-bagi tidak jauh
berbeda antara yang kaya dan yang miskin. Tahu, tempe, telor, ikan, ayam adalah
lauk yang pasti ada, pengolahannya saja yang berbeda. Penyajiannya pun ternyata
berbeda-beda, ada yang diantar kerumah-rumah pada sepekan menjelang puasa, ada
yang model nasi bungkus dikumpulkan di musholla kemudian dibagikan pada jamaah
sesudah sholat Isya pada seminggu sebelum puasa, sedang di musholla dekat rumah
saya “unggah-unggahan” diadakan pada malam pertama Romadlon, yang pada malam terakhirnya diikuti acara “udun-udunan”
dengan acara yang sama, yaitu warga sekitar musholla mengumpulkan Brekat (nasi
dan lauk-pauknya) sebelum sholat isya dan dibagikan lagi seusai taraweh
(bertukar makanan).
Entah akan
sampai kapan tradisi ini bertahan, rasanya tradisi ini ada pentingnya untuk
menandai pola keberagamaan, semoga tidak dibid’ah-bid’ahkan lalu hilang. Pada akhirnya
bicara soal banyaknya makanan, jaman saya kecil dulu hal semacam ini adalah
magnet penarik kami. Sampai ada istilah “kirkat” ana takir mangkat, bahasa kami
yang kalau dibahasa Indonesia-kan jadi : ada takir berangkat (takir : nasi
bungkus).
Sebagai penutup,
saya ucapkan selamat berpuasa bagi saudara seiman, saya hanya bisa berbagi
tulisan dan foto makanan, semoga dimaafkan.
Barokallah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar