Jumat, 26 Mei 2017

Unggah-unggahan

Hadir lagi bulan Romadlon, bulan puasa yang bagi kaum muslimin merupakan bulan yang ditunggu-tunggu. Dalam banyak ceramah menyambut bulan puasa, banyak disebut keistimewaan bulan ini, yang kemudian menuntut adanya suka-cita menyambut kedatangannya. Ada banyak tradisi menyambut bulan yang disucikan ini, dari tabuh bedug masjid di pagi hari (kini ketika penetapan awal puasa semakin rumit, tradisi ini sepertinya sudah tak ada lagi), saling kunjung-mengunjungi di antara famili dan handai taulan, bersih-bersih rumah dan kuburan, mandi keramas, hingga saling berbagi makanan.


Di sekitar tempat tinggal saya di Brebes, tradisi berbagi makanan menyambut Romadlon disebut dengan “Unggah-unggahan”. Ada banyak tafsir tentang tradisi ini, saya tak tertarik membahasnya, saya memaknai ini dengan gampang saja, bahwa tradisi ini adalah cara orang-orang kami mengakui adanya banyak kesalahan dan kekhilafan dalam pergaulan sehari-hari, dan berbagi makanan adalah ekspresi permohonan maaf dan maklum atas dosa yang telah lalu.


Berbagi makanan dalam  “unggah-unggahan” adalah berbagi makanan pokok yang siap santap. Dan di tempat kami tentu saja makanannya nasi dan lauknya. Sejauh yang saya alami, makanan yang dibagi-bagi tidak jauh berbeda antara yang kaya dan yang miskin. Tahu, tempe, telor, ikan, ayam adalah lauk yang pasti ada, pengolahannya saja yang berbeda. Penyajiannya pun ternyata berbeda-beda, ada yang diantar kerumah-rumah pada sepekan menjelang puasa, ada yang model nasi bungkus dikumpulkan di musholla kemudian dibagikan pada jamaah sesudah sholat Isya pada seminggu sebelum puasa, sedang di musholla dekat rumah saya “unggah-unggahan” diadakan pada malam pertama Romadlon, yang pada  malam terakhirnya diikuti acara “udun-udunan” dengan acara yang sama, yaitu warga sekitar musholla mengumpulkan Brekat (nasi dan lauk-pauknya) sebelum sholat isya dan dibagikan lagi seusai taraweh (bertukar makanan).

Entah akan sampai kapan tradisi ini bertahan, rasanya tradisi ini ada pentingnya untuk menandai pola keberagamaan, semoga tidak dibid’ah-bid’ahkan lalu hilang. Pada akhirnya bicara soal banyaknya makanan, jaman saya kecil dulu hal semacam ini adalah magnet penarik kami. Sampai ada istilah “kirkat” ana takir mangkat, bahasa kami yang kalau dibahasa Indonesia-kan jadi : ada takir berangkat (takir : nasi bungkus).


Sebagai penutup, saya ucapkan selamat berpuasa bagi saudara seiman, saya hanya bisa berbagi tulisan dan foto makanan, semoga dimaafkan.  Barokallah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar